Roda waktu seakan berlomba dengan roda perubahan dunia. Keduanya terasa sama gesitnya sekarang. Menggulung dan melibas apa saja yang menerjang di hadapannya. Dalam berbagai lini kehidupan, sedetik menjadi sangat berharga. Sekali anda lengah, maka bersiaplah mengekor di belakang. Parahnya, pergerakan waktu susah disadari. Banyak orang yang tersadar waktu telah berlari begitu kencang hanya di saat merayakan hari kelahirannya. Bagi saya, melihat penumpang kereta api mengejar kereta selanjutnya
Secara konseptual, hidup ini memang sederhanana memahami waktu. Kenalilah tiga zona waktu yang universal, yakni lahir, proses menuju kematian dan mati. Lahir, tentu bukan kehendak kita, ini kehendak orang tua kita sepenuhnya. Terserah, jika anda seorang yang religius, itu kehendak tuhan. Seorang agnostis dan atheis lebih memandangnya tidak lain dari hukum alam. Namun maaf, saya tidak mau berdebat disini.
Menuju kematian, sebuah periode ketidakpastian tentang kapan dan bagaimana. Saya memaknainya sebagai sebuah era transisi menuju kematian. Namun sialnya, justru di era inilah area bermain kita yang sesungguhnya. Kita sedang bermain di era ketidakpastian.
Hampir setiap orang dewasa sadar dengan itu. Takut atas ketidakpastian, insting manusia menjadi liar. Konon coraknya komunal, kini manusia berubah menjadi makhuk yang individual dan kompetitif. Sejarah perkembangan manusia mencatatnya dengan baik. Menjadi masuk akal mengapa sebagian orang memilih menjadi pemangsa atas sesamanya. Menindas dan menghisap menjadi pilihan untuk bertahan dari ketidakpastian. Coretan-coretan sejarah memang didominasi oleh cerita ketertindasan dan ketidakadilan. Apakah akan jadi manusia yang biasa-biasa saja. Atau menjadi manusia yang abadi dalam kenangan orang banyak. Saya lebih sepakat dengan yang terakhir.
Belasan tahun terakhir ini saya selalu dihantui sebuah pertanyaan soal kewarasan. Ini acapkali muncul secara sendirinya ketika bangkit dari tidur. Saya percaya batas antara kewarasan dan ketidakwarasan sangatlah sangat tipis dan semu. Dalam hal ini, memperdebatkan kewarasan menjadi tidak selalu relevan.